Satu sisi memandang kredit adalah domain ekonomi konvensional, disisi yang lain pembiayaan belum tentu sesuai Syariah, jadi kredit atau pembiayaan?
Ada kaidah Fiqh Muamalah yang menyebutkan "Patokan (untuk menentukan keabsahan) akad adalah tujuan dan maknanya, bukan kata-kata dan penamaannya"
Sebagai Muslim tentu kata-kata dan bahasanya baik, berbudaya, paham dengan siapa kawan atau lawan bicaranya, waktunya pas, tempatnya diperhatikan, dan maknanya dipikirkan, serta tujuannya ditentukan, lebih jauh hukumnya dipertimbangkan bahkan ditaati.
Kredit atau pembiayaan pada umumnya diketahui dalam konteks lembaga keuangan, selain lembaga keuangan, jumhur umat lebih sering menggunakan kata hutang dan berhutang, bukan utang-piutang yang ada pada KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), dan ilmu akuntansi.
Kredit Berasal
Dalam Muamalah praktek utang dengan meminjamkan uang kepada orang lain kemudian dikembalikan dalam jumlah yang sama, disebut qardh, kata qardh sendiri berarti memotong, maknanya jika meminjamkan uang, sesungguhnya orang yang meninjamkan uang tersebut, sudah memotong hartanya untuk orang lain, makanya akad qardh termasuk akad tabarru alias akad tolong menolong, karakternya memang untuk menolong orang yang membutuhkan pertolongan, dalam hal ini membutuhkan uang, bisa karena alasan uang lebih fleksibel digunakan untuk berbagai keperluan. Namun uniknya akad qardh, uang yang sesungguhnya sudah dipotong dari pemilik harta, berpotensi kembali utuh, karena orang yang meminjam uang wajib mengembalikannya, dan orang yang meminjamkannya akan mendapatkan pahala yang besar sampai uangnya bisa dikembalikan utuh.
"Semua dosa orang yang mati Syahid akan diampuni kecuali utang". (HR. Muslim)
Anas bin Malik berkata bahwa Rasulullah besabda, " Aku melihat pada waktu malam di-isra'kan, pada pintu surga tertulis : Sedekah Dibalas Sepuluh Kali Lipat dan Qardh Delapan Belas Kali. Aku bertanya, Wahai Jibril, mengapa qardh lebih utama dari sedekah? Ia menjawab, karena peminta-minta sesuatu dan ia punya, sedangkan yang meminjam tidak akan meminjam kecuali karena keperluan". (HR. Ibnu Majah)
Sedangkan kata kredit banyak disebutkan berasal dari kata credere dari bahasa latin, yang berarti kepercayaan, maknanya orang yang diberikan kredit adalah orang yang dapat dipercaya, dalam konteks lembaga keuangan, kepercayaan itu paling tidak dilihat dari 5C yaitu Character, apakah history kreditnya lancar, Capacity, apakah keuangannya sehat, Capital, apakah modalnya mumpuni, Condition, apakah industri usahanya mendukung, dan Collateral, apakah jaminannya mencukupi.
Terlepas dari asal kata kredit, namun dalam praktiknya kredit dilembaga keuangan lebih banyak mengandung unsur riba, baik dari sisi penyalurannya, dengan tambahan bunga pinjaman (usury) maupun dari sisi pendanaannya, dengan tambahan bunga simpanan (interest). Asumsi Penulis, lembaga keuangan Syariah tentu perlu membedakan dari praktik kredit di lembaga keuangan konvensional, menggunakan kata pembiayaan, yang lebih tepat digunakan, karena lembaga keuangan sesungguhnya berbentuk badan usaha yang mencari profit, sehingga akad-akad yang digunakan adalah akad komersial seperti akad murabahah, akad musyarakah, akad ijarah dll, bukan akad tabarru seperti akad qardh (kredit).
Penutup
Dengan demikian sesungguhnya tidak ada pertentangan antara kredit atau pembiayaan, dalam kondisi kontemporer, setiap Muslim bisa menggunakan kata kredit, pembiayaan, pinjam, utang, loan, borrow atau apapun sesuai bahasa daerah masing-masing, budayanya masing-masing dan bidangnya masing-masing, namun memang akan lebih sempurna jika kembali pada khasanah Muamalah Maliyah dalam penggunaan bahasa dan kata, yang terpenting adalah akadnya benar, prosesnya benar, mengacu pada fatwa para Ulama, ditambah peraturan perundang-undangan yang berlaku dari Pemerintah dan tidak saling menentang, tetapi saling mendukung.
Wallahu a'lam bishawab
Kommentare