Tabiat manusia tidak ingin rugi maunya untung, kalau terjadi sesuatu yang merugikan, bukan hanya tidak mau rugi, tetapi maunya untung, dimana ada need, disitu ada produk, ada produk yang namanya asuransi.
Dalam Muamalah Maliyah cara mengatasi kerugian adalah dengan tolong-menolong, kalau tolong-menolong ya nol keuntungan nominalnya, akan ada satu pihak yang kesannya "enak banget", karena memang akad tolong-menolong lazimnya satu arah, kalau dua arah mesti namanya komersial.
Itulah mengapa akad Muamalah Maliyah untuk asuransi adalah akad tolong-menolong, dengan akad hibah, setiap orang menghibahkan uangnya, akan terkumpul jumlah yang banyak, nah setiap ada yang terjadi sesuatu, misalnya sakit, maka akan dibayarkan dengan uang "urunan" tersebut, tentu tidak ada yang mau sakit kan, maka uang "urunan" tersebut akan digunakan secara alamiah.
Namun dalam sistem ekonomi riba seperti sekarang ini, uang yang "menganggur" akan turun nilainya, sehingga perlu dikelola agar nilainya tetap bertahan, sehingga ketika ada yang memerlukan, maka nilai uangnya sesuai.
Dalam hal ini dibutuhkan suatu penyelenggara atau pengelola dana, berbentuk badan hukum, yang menjadi perhatian adalah, pengelola atau penyelenggara ini tidak boleh mengambil keuntungan, kalaupun mendapatkan margin dari hasil pengelolaan dana, maka boleh digunakan sebatas memenuhi kebutuhan pengelola saja, dengan batas maksimal 1/3, namun dalam praktik formalnya hanya 10%, seperti yang diformalkan dalam Undang-Undang bagi Nazhir wakaf di Indonesia hanya boleh mengambil 10%, sisanya kepada yang berhak.
Pola seperti itu tidak dipakai dalam lembaga keuangan asuransi, karena pada dasarnya asuransi lahir dalam sistem kapitalisme yangmana pemilik uang akan selalu menginginkan keuntungan bagaimanapun caranya.
Risiko yang mungkin ada akan ditanggung oleh pihak asuransi, sampai disini terkesan baik-baik saja, padahal pihak asuransi akan mengembangkan uang premi yang terkumpul melalui instrumen keuangan yang tidak riil, dan mendapatkan keuntungan dari capital gain, bahkan yang menanggung resiko kemudian adalah pihak re-insurance, pihak re-asuransi juga tentu mau untung, maka akan "bermain ternak uang" juga, terus begitu, ujung-ujungnya yang rugi adalah masyarakat, karena jika terjadi gejolak ekonomi, kemudian lembaga keuangan asuransi runtuh, tentu negara akan turun tangan, darimana uang negara? dari masyarakat juga!.
Tidak heran memang melihat efek domino asuransi yang begitu besar, karena asuransi sekaligus mengandung gharar, risiko terjadi atau tidak, riba, jika tidak ada risiko, maka uang nasabah terbayarkan lebih dikemudian hari dan maysir bermain judi di sektor non riil.
Wallahu a'lam bishawab