Dalam negara republik yang memiliki sistem politik demokrasi, peran Rakyat menjadi sangat penting, lembaga eksekutif seperti Kepresidenan dan lembaga legislatif seperti Parlemen, dipilih oleh Rakyat untuk membuat Undang-Undang dan menjalankan Undang-Undang tersebut. Tujuan bernegara untuk memajukan kesejahteraan umum juga dituangkan dalam suatu Undang-Undang, salah satunya adalah Undang-undang No.11 Tahun 2020 yang dikenal dengan UU Cipta Kerja.
Tidak bermaksud sebagai pandangan hukum, namun dalam pandangan ekonomi Penulis, keberadaan undang-undang yang padat, ringkas, dan praktis sangat diperlukan untuk menyederhanakan berbagai undang-undang yang sangat banyak dan saling tumpang tindih, agar perekonomian bisa berjalan dengan efektif dan efisien, terutama untuk pengusaha mikro dan kecil.
Namun apakah UU Cipta Kerja dengan konsep Omnibus Law-nya adalah solusinya?
Putusan Mahkamah Konstitusi
Seperti yang sudah menjadi berita umum, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya No.91/PUU-XVIII/2020 yang dibacakan tanggal 25 November 2021, menyatakan pembentukan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, alias inkonstitusional, namun bersyarat, agar dilakukan perbaikan dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak putusan MK tersebut dibacakan, sehingga dalam poin putusan berikutnya MK tetap menyatakan UU Cipta Kerja masih berlaku sampai tenggat waktu yang diberikan, namun apabila tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen dan UU yang dicabut dengan adanya UU Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali.
Usaha Mikro dan Kecil Dalam UU Cipta Kerja
Jika melihat materi Usaha Mikro dan Kecil pada UU Cipta kerja, sependek sepengetahuan Penulis, terdapat satu paradigma baru untuk Usaha Mikro dan Kecil, Perseroan yang secara hukum didirikan minimal oleh 2 (dua) orang dengan akta notaris, ternyata pada Bagian Kelima mengenai Perseroan Terbatas pasal 7 ayat 7, merubah bunyi UU sebelumnya yaitu UU No.40 Tahun 2007, dengan menyebutkan bahwa ketentuan Perseroan yang didirikan oleh 2 (dua) orang tidak berlaku bagi Perseroan yang memenuhi kriteria sebagai Usaha Mikro dan Kecil.
Pasal 153A ayat 1 dan 2, kemudian secara jelas menyatakan Perseroan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro dan Kecil dapat didirikan oleh 1 (satu) orang dan dilakukan berdasarkan Pernyataan Pendirian, selanjutnya Pasal 153B ayat 1 dan 2 Pernyataan Pendirian tersebut memuat maksud dan tujuan, kegiatan usaha, modal dasar dan keterangan lain yang berkaitan dengan Pendirian Perseroan dan didaftarkan secara elektronik kepada Menteri.
Pasal 153J ayat 1 kemudian menyebutkan Pemegang Saham Perseroan Usaha Mikro dan Kecil tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan dan kerugian Perseroan, artinya terdapat pemisahan harta sebagaimana Perseroan Terbatas pada umumnya. Ketentuan lebih lanjut mengenai Perseroan bagi Usaha Mikro dan Kecil tersebut kemudian diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).
PP No.7 Tahun 2021 pada BAB III Bagian Kesatu Paragraf 4 Pasal 35 mengenai kriteria Usaha Mikro dan Kecil dikelompokkan berdasarkan kriteria modal usaha atau hasil penjualan tahunannya. Usaha Mikro memiliki modal usaha paling banyak Satu Miliar Rupiah, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, sedangkan Usaha Kecil memiliki modal usaha lebih dari Satu Miliar Rupiah sampai Lima Miliar Rupiah, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, sementara Usaha Mikro memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Dua Miliar Rupiah, berikutnya Usaha Kecil memiliki hasil penjualan tahunan sampai dengan Lima Belas Miliar Rupiah.
Peraturan Pemerintah berikutnya yang terkait dengan Usaha Mikro dan Kecil adalah PP No.8 Tahun 2021 mengenai Modal Dasar Perseroan Serta Pendaftaran Pendirian, Perubahan, dan Pembubaran Perseroan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro dan Kecil, secara rinci dibahas dalam Peraturan Pemerintah tersebut.
Dalam UU Cipta kerja juga menyebutkan mengenai Penerapan Perizinan Berusaha yang menggunakan basis Risiko, seperti yang disebutkan pada BAB III tentang Peningkatan Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha, Bagian Kesatu Pasal 6 dan Bagian Kedua pasal 7 ayat 7 menyebutkan tingkat risiko dan peringkat skala usaha kegiatan usaha dibagi menjadi tiga yaitu berisiko rendah, menengah dan tinggi.
Masih banyak hal-hal lain yang terkait dengan Usaha Mikro dan Kecil dalam UU Cipta kerja dan peraturan turunannya, yang berpotensi mengarahkan penduduk Indonesia untuk menjadi Pengusaha, dengan segala kemudahan dan insentifnya. Namun jika penciptaan Pengusaha itu kemudian berpotensi juga merugikan pihak Pekerja atau Karyawan atau Buruh, tentu tidak bisa juga dikatakan adil, belum lagi jika berpotensi merusak Alam dan Wilayah Adat, karena sesungguhnya Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia menjadi hal yang sangat fundamental.
Pengusaha dan Pekerja Dalam Islam
Sebagai seorang Muslim baik menjadi Pengusaha atau Pekerja hanyalah sebuah sarana beramal untuk beribadah kepada Allah Azza wa Jalla.
"Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku" (QS. Az Zariyat: 56)
"Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi, carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung" (QS. Al Jumu'ah: 10)
Baik Pengusaha maupun Pekerja, tetap saja satu bagian tubuh atau organ yang tidak dapat dipisahkan dan saling terkoneksi dalam organisasi. Namun demikian setiap tempat dan waktu memiliki tantangan yang berbeda-beda, bisa saja pada suatu negara atau wilayah, lebih dibutuhkan lebih banyak Pekerja dibandingkan Pengusahanya, sebaliknya bisa saja pada suatu negara atau wilayah atau umat tantangannya lebih diharapkan lebih banyak Pengusaha, dalam hal ini Penulis dan profitbersih.com mengharapkan rasio Pengusaha di Indonesia bisa menjadi lebih besar, minimal 1/3 dari usia produktif penduduk Indonesia adalah Pengusaha.
Dengan semakin banyaknya Pengusaha yang memperoleh profit dengan sumber, cara dan alokasi yang bersih, maka diharapkan kewajiban Muslim seperti zakat menjadi lebih besar untuk membentengi setiap Muslim dalam memenuhi kebutuhan dasarnya, waris yang semakin menguatkan harta setiap keluarga. Diharapkan akad tolong menolong (tabarru) semakin melimpah, seperti sedekah menjadi lebih besar lagi untuk membantu setiap rakyat dalam membangun kehidupannya, wakaf menjadi lebih luas lagi dalam men-sejahterah-kan seluruh rakyat dengan pembangunan-pembangunan sekolah, rumah sakit, jalan, pembangkit listrik dan lain-lain, belum lagi hibah yang akan meningkatkan rasa cinta sesama manusia.
Dalam Islam kemudahan berusaha juga telah dibahas dalam Muamalah Maliyah, hubungan sesama manusia yang berkaitan dengan harta, yang lebih dikenal dengan istilah Muamalah saja tanpa kata Maliyah. Perseroan dibahas dalam bentuk Syirkah, dengan pilihan Syirkah Abdan, Syirkah Inan, Syirkah Mufawadhah, atau Syirkah Wujuh. Konsep, proses, mekanisme bisnis ada pada akad komersial (mu'awadhah), seperti akad jual-beli (musawamah), akad bagi hasil (nisbah), akad sewa (ijarah), akad makelar (samsarah), atau akad prestasi (ju'alah) dengan segala turunannya dari akad-akad tersebut yang melimpah.
Penutup
Dengan demikian semoga Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia bisa nyata dirasakan baik bagi Pengusaha maupun Pekerja, baik melalui UU Cipta Kerja maupun Undang-Undang Lainnya, sehingga Usaha atau Kerja? pilihan sepenuhnya dikembalikan pada Sahabat sesuai dengan tantangannya masing-masing .
Wallahu a'lam bishawab