Jabatan dan jawatan memiliki kesamaan dalam hal mengurusi suatu tugas dalam pemerintahan, namun kata jawatan juga dipakai untuk menyebutkan suatu bentuk perusahaan yang hanya fokus pada pelayanan masyarakat, yaitu perusahaan jawatan atau perjan.
Menjadi pejabat pada dasarnya juga hanya fokus untuk melayani masyarakat, bukan keluarganya saja, bukan partainya saja, bukan kelompoknya saja, namun seluruh masyarakat, yang berbeda-beda baik suku, ras, golongan ataupun yang berbeda agama.
Dalam tugas pelayanannya tersebut, pejabat tentu memiliki banyak konflik kepentingan, diantaranya adalah kebutuhan dan keinginan pribadi beserta keluarganya. Secara sadar banyak pejabat yang pada akhirnya memiliki harta yang banyak, bahkan menumpuk harta dalam berbagai aset. Cara mendapatkannya tidak sedikit yang menempuh cara korupsi.
Sesungguhnya pejabat yang semakin bertambah hartanya maka patut dicurigai, walaupun pejabat tersebut dikenal sebagai orang yang "bersih" (baca juga : https://www.profitbersih.id/artikel-profit-bersih). Dalam suatu kisah Umar bin Khattab bahkan mengaudit harta sahabatnya yaitu Amr bin Ash, karena harta Amr bin Ash semakin bertambah sejak beliau menjabat sebagai Gubernur Mesir.
Siapa yang tidak mengenal bersihnya Amr bin Ash dan jasanya dalam perjalanan kaum Muslimin selama ini, namun bagaimanapun Amr bin Ash perlu diaudit, karena beliau pejabat, tanpa pandang bulu, audit harta dilakukan walaupun terkesan tabu saat itu. Bayangkan dari siapa rupanya audit harta pejabat dilmulai dengan prinsip akuntabilitas? jawabannya tidak lain adalah dari para Sahabat Rasulullah, mereka sudah memulai dan mencontohkannya.
Oleh karena itu kaum Muslimin tidak perlu heran dengan adanya audit, jabatan yang dipegang oleh kaum Muslimin harus dilaksanakan dengan sebaik mungkin sekaligus berani untuk mempertanggungjawabkan hartanya, agar pelayanan masyarakat bisa lebih maksimal dan adil.
Wallahualam Bishawab